Food Heritage Itu Berasal Dari Desa Wisata Hanjeli

Kliknusae.com - Tatar Sunda, Jawa Barat  memang sejak lama sudah dikenal sebagai serpihan "surga". Semua ada disini, dari potensi alamnya yang sejuk dengan landscap pegunungan nan hijau,pantai,kuliner, seni, budaya hingga kultur masyarakatnya yang Someah Hade Ka Semah (ramah dan selalu ingin membahagiakan tamu yang datang).

Ada benarnya jika kemudian seorang fenomenolog, psikolog, dan budayawan kelahiran Delf, Belanda, Martinus Antonius Weselinus Brouwer menyebutkan Tatar Sunda diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.

Salah satu destinasi yang tak kalah fenomenalnya adalah Desa Wisata Hanjeli, yang berada di kawasan  Ciletuh Global Geoparks, tepatnya di Desa Waluran Mandiri, Kecamatan Waluran, Kabupaten Sukabumi.

Lokasi yang masih cukup alami dengan ketersediaan bahan pangan yang otentik ini bisa dicapai dengan waktu tempuh 3 jam perjalanan dari Kota Sukabumi.

Disebut Wisata Hanjeli karena masyarakat disini sekarang sudah berhasil menciptakan produk pertanian alami dari biji-bijian seperti jagung,shogun (gandum),padi darat (huma) dan yang lainnya.

Wisatawan atau pengunjung pun bisa menikmati paket hidangan nasi liwet hanjeli dan berbagai produk pangan berbahan hanjeli, seperti bubur, dodol, atau tapai hanjeli.

Adalah Asep Hidayat Mustopa yang berhasil memopulerkan kembali tanaman pangan yang nyaris  terlupakan ini.

Pria 32 tahun ini bahkan berhasil menjadikan Hanjali  sebagai daya tarik utama desa wisata yang ia kembangkan bersama warga.

Tadinya, Asep adalah pekerja migran di Arab Saudi. Kembali pulang ke kampung halaman pada tahun 2009, karena tergerak ingin membangkitkan komoditi lokal.

"Memang awalnya berat ya. Warga disini sempat kehilangan kepercayaan, ketika produk pertanian mereka di panen, bingung harus menjual kemana. Dulu kan sempat ada sosialiasi warga diminta tanaman ini dan itu, setelahnya tidak ada solusi," kata Asep mengawali perbincangan dengan Kliknusae.com, Minggu (12/07/2020).

Untuk membangun kembali kepercayaaan warga, Asep pun memutuskan untuk melakukan pendekatan secara door to door.

"Dulu kan sempat ada program dari pemerintah. Semua petani diminta menanam komodoti seperti kedelai, misalnya. Tapi setelah panen, tidak ada yang mau beli. Nah, trauma ini yang masih ada melekat di sebagian petani. Makanya, saya memulainya dengan tidak sporadis," ujar Asep.

Dengan segala upaya untuk menyakinkan petani, Asep pun menggerakkan warga tak hanya untuk menanam hanjeli, tapi juga memperkenalkan program yang ia sebut "Pirus", singkatan dari "pipir imah diurus".

"Maksudnya, lahan-lahan menganggur di sekitar rumah perlu dimanfaatkan untuk semakin meningkatkan ketahanan pangan warga desa, sehingga melengkapi budidaya hanjeli sebagai alternatif beras," ujarnya.

Gerakan "Pirus" ini mendorong warga untuk menanam berbagai macam sayur-mayur, dengan metode polybag, hidroponik, dsb.

"Pirus" lantas dikembangkan lagi menjadi program "Budiksamber" (budidaya ikan dan sayuran dalam ember).

"Dengan begitu, konsep ketahanan pangan untuk warga Waluran Mandiri menjadi semakin kokoh. Ada bahan makanan pokok dan berbagai produk turunannya, yakni budidaya hanjeli. Ada sayur-mayur, dan ada ikan," paparnya.

(adhi/bersambung)

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya